Peta Situs | Komunitas Tzu Chi | Links  
| Tentang Kami | Berita Tzu Chi | Misi & Visi |Cara Berpartisipasi | Jadwal Kegiatan | Inspirasi | Kantor Penghubung |Kata Perenungan |


M.A. Chandra : Tzu Chi itu Gudang Ilmu

Di antara sekian banyak kaum hawa yang berkecimpung dalam kegiatan Tzu Chi Indonesia pada masa-masa awal berdirinya, tampak seorang laki-laki yang cukup sering tampil. Lelaki itu bernama M.A. Chandra.

Waktu awal mula terlibat di Tzu Chi (tahun 1996), Chandra sering mendampingi relawan Tzu Chi dari Taiwan, berperan sebagai penyambung lidah antara relawan yang terbiasa berbahasa Mandarin dengan masyarakat Indonesia. Sebagai seorang yang peduli dan suka membantu orang lain, ia selalu merasa tidak tega bila diam saja melihat sesuatu yang sesungguhnya bisa ia bantu. “Kalau saya bisa, maka itu adalah kewajiban saya untuk membantu,” katanya. Prinsip ini adalah salah satu pelajaran yang diperolehnya dari teladan Master Cheng Yen.

Ia mengagumi semangat relawan Tzu Chi dari Taiwan yang meskipun kurang fasih berbahasa Indonesia, tapi berani tampil ke depan masyarakat Indonesia untuk mensosialisasikan tentang Tzu Chi. “Waktu sebelum tampil memang rasanya kelenger, tapi setelah nampil kok rasanya malah mantep,” ucapnya sambil tertawa. Baginya, menjadi penerjemah adalah suatu ajang latihan untuk kepercayaan dirinya.

Terpaksa Mengaku Jadi Dokter
Selama sekian tahun berkecimpung di Tzu Chi, Chandra juga terjun menangani pasien-pasien kasus yang dibantu oleh Tzu Chi. Pertama kali ia menangani pasien TBC yang ada di Desa Gaga, Tangerang. Dalam sebulan bisa beberapa kali ia bolak-balik untuk mengunjungi pasien yang ditanganinya. Selama 2 tahun ia telah menangani total lebih dari 400 kasus TBC. “Untuk lihat perkembangan pasien TBC, kita bisa amati dari timbangannya, kalau beratnya bertambah berarti kesehatannya ada kemajuan, tapi kalau beratnya turun mungkin dia minum obatnya tidak kontinu,” kata Chandra. Karenanya ia rajin mengingatkan pasiennya untuk minum obat. Lama-kelamaan ia sering dianggap dokter oleh pasien. Teman-teman Chandra yang mengetahui kenyataan ini sering tertawa geli, “Tapi saya sering bilang pada mereka supaya jangan ketawa, soalnya kalau pasien tau saya ini bukan dokter, pasti mereka tidak mau nurut,” ceritanya.

 

“Saya Dapat Banyak Pelajaran di Sini”
“Saya banyak belajar di Tzu Chi, banyak sekali pelajaran yang didapat dari sini,” tegas anak ke-5 dari 6 bersaudara ini. Bahkan setelah hampir 10 tahun berkecimpung di Tzu Chi, Chandra merasa sudah terlambat memulai perbuatan baiknya lewat Tzu Chi. “Saya ini sudah menjelang usia 60 tahun, paling lama saya bisa mengabdi secara fisik paling-paling tinggal 10 tahun, sisa waktu ini harus benar-benar dimanfaatkan,” katanya bijak. Chandra menambahkan, selama masih punya kesempatan untuk berbuat baik, mengapa kita tidak memanfaatkannya saja? Demikian Chandra senantiasa memegang apa yang diajarkan Master untuk tidak menyia-nyiakan waktu yang ada.

Selama ini Chandra sering belajar dari buku-buku tulisan Master Cheng Yen, ia sempat merasa sudah cukup tahu tentang hidup ini, tapi setelah ia sering melakukan sharing dengan relawan Kantor Penghubung Tzu Chi Medan, ia sadar ternyata masih banyak sekali yang harus ia pelajari. “Master pernah mengatakan, di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung,” kata laki-laki yang berasal dari Medan ini. Karena itu, dalam menghadapi semua masalah yang muncul, ia selalu memegang prinsip cinta kasih dan perhatian yang tulus apa adanya. Chandra menandaskan, “Semua pelajaran ini menuju pada satu titik akhir yaitu cinta kasih yang harus kita tanam’in.”

Chandra meyakini bahwa ia memang berjodoh dengan Tzu Chi. “Kayaknya hidup saya di Tzu Chi ini sudah diatur,” katanya. Misalnya saja pada saat terjadinya bencana tsunami akhir Desember 2004 yang lalu. Saat itu, Chandra mendapatkan libur akhir tahun selama 10 hari. Awalnya ia berencana untuk mengantar pasien yang mau berobat ke Taiwan, namun karena jadwalnya tidak cocok, akhirnya rencana itu dibatalkan. Kemudian, temannya mengajak Chandra untuk berlibur ke Penang, Malaysia tanggal 28 Desember 2004. Maka ia pun berangkat ke Medan untuk kemudian lanjut ke Penang. Tanggal 25 Desember 2004, Chandra masih sempat menggunakan waktunya selama di Medan untuk melakukan koordinasi dengan Kantor Penghubung Tzu Chi di Medan tentang persiapan baksos di sana. Siapa sangka, keesokan paginya saat baru terbangun dari tidurnya, Chandra turut merasakan guncangan gempa yang dahsyat itu.

Menangisi Aceh
Pagi hari, 26 Desember 2004, setelah mengalami guncangan gempa, Chandra sempat mengingatkan relawan Tzu Chi di Medan untuk mencari informasi dari berbagai media untuk kepentingan Da Ai TV Taiwan. Sesungguhnya Chandra masih memendam keinginan untuk pergi ke Penang, tapi setelah melihat tayangan TV tentang dahsyatnya bencana yang terjadi, akhirnya ia pun mengurungkan niatnya.

Selama di Aceh, banyak pengalaman yang meninggalkan bekas yang dalam untuk Chandra. “Duh, kalo mengingat hari itu, rasanya masih sedih,” katanya. Tanggal 29 Desember 2004, 3 hari pascabencana, Tzu Chi mencarter pesawat untuk mengevakuasi pengungsi dari Aceh ke Medan. Saat itu Chandra bertanggung jawab untuk menentukan pengungsi yang akan diangkut, sesuai dengan prioritas Tzu Chi, yaitu mereka yang tua, yang bayi, yang sakit, dan yang luka tanpa membedakan bangsa. Penerbangan pertama pada malam 29 Desember berjalan dengan lancar. Keesokan harinya tanggal 30 Desember, Chandra mulai menemui banyak masalah akibat penerbangan yang tertunda. Pesawat yang dijadwalkan berangkat pukul 5 sore tertunda lebih dari 10 jam. Padahal sesuai jadwal, Chandra sudah mengumpulkan 47 pengungsi yang siap diangkut. “Waktu itu saya sangat tegang, ini orang lagi pada sakit, masa harus menunggu semalaman di airport, apalagi mereka adalah tanggung jawab saya,” katanya.

“Saya sempat menangis malam itu,” Chandra melanjutkan ceritanya. Air mata yang jatuh ini, adalah pernyataan gejolak batin Chandra atas simpati melihat korban yang kehilangan anggota keluarga, tempat tinggal, dan segalanya. Ia semakin tersiksa saat menyadari bahwa ia tidak dapat berbuat banyak untuk membantu mereka.

Akhirnya pesawat baru bisa terbang pukul 5 pagi. Chandra pun mengatur agar para pengungsi beristirahat di teras sebuah rumah sambil menunggu jadwal terbang.

Paling Anti Merepotkan Orang Lain
Meskipun sebagian besar waktu Chandra diisinya untuk Tzu Chi, namun orang tua dan saudara-saudara Chandra sangat mendukungnya. “Mereka tahu jiwa saya, tidak ada masalah karena saya ini orangnya mandiri sekali,” katanya. Uniknya, Chandra sudah merancang masa-masa akhir hidupnya sedemikian agar tidak menyusahkan orang lain. “Nggak perlu pake macam-macam, kalau harus mati pun, saya ingin pergi dengan anggun dan rapi, tapi tidak membebankan orang lain,” katanya. Sesungguhnya ada keinginan Chandra untuk mendonorkan organ tubuhnya setelah ia meninggal, agar dapat dimanfaatkan orang lain, seperti salah satu program Tzu Chi di Taiwan. Tapi ia justru khawatir organnya tidak memenuhi syarat sehingga bukannya membantu malah menyulitkan orang lain.

Sejak bergabung dengan Tzu Chi, Chandra semakin memahami ajaran Buddha, agama yang dianutnya selama ini. Dalam kehidupan ini sedapat mungkin ia ingin meringankan karmanya. “Sejak ngurus kasus di Tzu Chi, saya sudah melihat banyak pasien yang hidupnya begitu susah, bahkan mau mati pun susah. Saya jadi berpikir itu semua pasti karena karma mereka berat,” katanya. Singkatnya, Chandra berharap tidak mengalami kondisi seperti para pasien yang ditanganinya. • Ivana/Sutar


 

 

 

 

Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia
Telp. (021) - 6016332, Fax. (021) - 6016334
Copyright © 2005 TzuChi.or.id